Chapter Text
Part I
1995
“Francis, untuk terakhir kalinya kukatakan, kalau proposal mu ini tidak akan bisa diteruskan,” Abel memijat pelipis kepalanya dengan dua jari, merasakan sakit kepala langganan yang datang kalau dia berhadapan dengan Prancis terkait perjanjian ekonomi mereka. Dirinya sudah kepalang lelah, ingin sekali menggebrak meja dan pergi keluar dari ruangan rapat.
Francis masih terus berdebat, bersikeras untuk meluluhkan argumen Abel yang sama keras kepalanya. Abel mengambil nafas panjang dan menghela perlahan. Pertemuan global ini malah jadi membahas panjang hal yang hanya terkait Belanda-Prancis saja. Abel bisa merasakan tatapan jengah dan kikuk dari negara lain.
Pada akhirnya, dia pun menyerah dan berjanji akan mengundang Francis untuk pertemuan bilateral di Belanda, khusus hanya untuk membahas perjanjian ini. Apapun untuk menyudahi debat tak nyaman ini.
Apapun untuk segera selesai dari rapat ini dan pergi sebelum dirinya datang.
Tanggal tujuh belas, bulan delapan. Hari bersejarah untuk dia. Jika ada pertemuan global dengan personifikasi negara sedunia yang bertepatan dengan tanggal tersebut, dia pasti selalu berkabar akan datang terlambat, karena sejak pagi akan sibuk dengan kegiatan seremonial di negaranya.
Seperti sekarang ini.
Abel menghempaskan nafas lega. Rapatnya sudah usai dan ia buru-buru merapikan semua dokumen dan bersiap melesat ke kamar hotelnya untuk berkemas. Suara kecil dalam kepala mengejeknya, mencelanya sebagai orang yang pengecut dan menyedihkan. Abel mengamini semua hinaan tersebut, rasa malu menjalar ke seluruh tubuhnya. Tapi sungguh ia tidak mau jika sampai harus berpapasan dengan—
“Indonesia! Akhirnya datang juga!”
Suara menggelegar Alfred membuat leher Abel menoleh begitu cepatnya ke arah suara tersebut. Benar saja, di ambang pintu Indonesia berjalan masuk, masih berseragam putih dari atas ke bawah kecuali untuk aksen merah terang di dadanya. Rambutnya tersisir rapi dan wajahnya berbinar senang.
Indonesia terlihat menawan seperti biasanya dan jantung Abel seperti lupa berdetak barang sedetik.
“Maaf ya, aku terlambat. Aku langsung terbang kemari segera setelah pengibaran bendera selesai,” katanya sambil mengambil tempat di kursi terdekat. “Rapat sudah selesai ya? Apakah ada yang ingin dibicarakan terkait negaraku?”
Tak lama, Indonesia langsung dikerubungi banyak negara. Gabungan antara penampilannya hari ini yang tidak biasa dan sikap ramahnya membuat orang lain ingin bercengkrama. Percakapan dan ucapan selamat atas lima puluh tahun kemerdekaan Indonesia mengalir lancar di kerumunan tersebut. Indonesia memang sedang naik daun belakangan ini, namun hari ini sepertinya spesial, seakan seluruh negara di dunia ingin berbicara dengannya.
Semua kecuali Abel yang hanya berdiri terpaku melihat itu semua, tidak berani mendekat sejengkal pun.
Lima puluh tahun…
Sudah setengah abad berlalu sejak Indie Indonesia menampik uluran tangan Abel dan mengarahkan ujung senapan ke wajahnya. Sudah setengah abad sejak mereka terakhir kali bertukar kata yang tidak dibalut sengit dan ketus. Sudah setengah abad sejak Indonesia terakhir menatapnya manis dan menyayangi Abel.
Dalam paniknya ketika melihat Indonesia hendak pergi meninggalkannya, Abel melakukan kesalahan besar. Alih-alih melepaskan, Abel justru semakin mengekang Indonesia, memenjarakannya dan menyiksanya dengan ancaman keji jika ia masih bersikeras pergi. Apa lah yang Abel harapkan dari hal tersebut jika bukan tambahan benci dan dendam dari Indonesia?
Mereka bertengkar, bertarung dan berperang melawan satu sama lain.
Cinta dan hati mereka hancur berkeping-keping, tersebar di antara darah dan mayat dan dentuman granat.
Semua salah Abel, lima puluh tahun yang lalu.
Apakah waktu tersebut sudah cukup lama berlalu untuk melupakan kekejaman?
Ataukah waktu tersebut justru belum cukup untuk bisa memaafkan?
Abel memaksakan dirinya untuk berhenti berandai-andai dan melanjutkan kegiatannya untuk beranjak pergi. Seharusnya tadi dia langsung saja melesat keluar begitu negara lain mengerubungi Indonesia, itu adalah pengalihan perhatian yang bagus. Dia baru saja setengah jalan menuju pintu keluar ketika Luxemburg berpapasan dengan dirinya.
“Sudah mau pulang, kak?” tanya adik kecilnya itu.
Abel mengangguk dan mengelus kepala adiknya, “Iya, salam ya nanti ke Laura. Kamu mau ke Belgia, kan, habis ini?”
Luxemburg mengangguk patuh. “Kak Laura juga kangen kakak dan sebal tidak bisa hadir hari ini, katanya.” Dia lalu menoleh ke arah kerumunan di sekitar Indonesia yang masih berkurang juga. “Tidak mau menyelamati Indonesia dulu?”
Meskipun dia tahu sebaiknya dia tidak menunda-nunda, Abel tidak bisa untuk tidak memandang Indonesia sekali lagi. Pria Asia Tenggara itu masih bercengkrama dan tertawa bersama yang lain. Dia terlihat sehat dan baik Dia masih terlihat indah sekali. Ternyata memang asumsi awal Abel mengira Indonesia tidak akan bisa apa-apa tanpa dirinya sangatlah salah. Dugaannya bahwa Indonesia akan merasa kehilangan dirinya juga tidak terbukti.
Indonesia berjaya tanpanya. Ia sudah melupakannya. Dan hati Abel sekali lagi berdegup perih di dalam dadanya. Perasaan yang seharusnya sudah ia singkirkan masih saja bersarang kuat.
Hati dan otakku bodoh sekali, tidak pernah belajar.
“Tidak sempat,” jawabnya datar seraya membalikkan badan ke arah pintu. “Sang Ratu bilang ada hal penting yang harus dibicarakan denganku.” Hal tersebut bukanlah dusta, namun juga bukan kebenaran yang seluruhnya. Ratu memang bilang ingin berdiskusi dengannya namun Ratu tidak pernah menyuruhnya untuk langsung kembali ke Belanda. Tapi tidak ada yang akan tahu juga, kan?
Kakinya yang jenjang berderap pergi sekencang mungkin. Kepalan tangannya mengeras, menahan hasrat diri untuk berbalik dan menghambur ke arah Indonesia. Sudah cukup, pikirnya marah, kendalikan dirimu dan jangan biarkan orang lain melihat betapa menyedihkannya dirimu!
Terlalu larut dalam membenci dirinya sendiri, Abel tidak tahu bahwa Indonesia sedang menatap kepergiannya. Negara bekas jajahannya itu hanya duduk termangu melihat punggung Abel yang semakin menjauh dan akhirnya menghilang dari pandangan. Dalam hatinya Indonesia bersyukur Abel menghindari dirinya, karena dia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi jika harus bertatap muka lagi dengan Abel setelah sekian lama.
Meninju atau mencium Abel, keduanya sungguh bukan perilaku yang pantas ia lakukan.
Ia sudah pisah lima puluh tahun. Sudah waktunya berhenti merindukan pria kulit putih itu.