Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandoms:
Relationships:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published:
2021-05-13
Words:
1,280
Chapters:
1/1
Hits:
34

Your Eyes (They Don't Sparkle for Me Anymore)

Summary:

Ketika Bila menoleh ke arahnya Sooil cuma bisa bertanya-tanya bagaimana bisa seseorang sama sekali tidak berubah sekaligus berubah terlalu banyak sekaligus.

Work Text:

Supermarket seharusnya jadi tempat yang cukup luas dan ramai untuk mengurangi kemungkinan bertemu seseorang yang dikenal. Apalagi supermarket di luar kota. Apalagi supermarket di luar kota tinggal dua orang yang bertemu hari itu.

Jadi ketika keranjang yang dibawa Bila terbentur troli orang lain, dan dia sudah siap minta maaf tapi wajah yang familiar, sangat familiar menyapa pandangan matanya, “ini bener Bandung atau gue ngigau sih” adalah kalimat pertama yang mampir ke kepalanya.

“Loh, Bila?” Suara yang tentu saja juga sama familiarnya dengan wajahnya itu kemudian terdengar. 

Untung Bila punya refleks yang bagus. Jadi walaupun sebenarnya dia tidak ingin, senyum lebar langsung terpasang di wajahnya. “Eh, hai!” Dia membuat senyumnya semakin lebar. “Lagi ngapain di sini?”

Sooil mengedarkan pandangan, seakan baru sadar kalau ini sebenarnya bukan kota tempat tinggal mereka. “Oh. Iya nih, mau nyari barang-barang di sini buat dibawa sekolah besok. Katanya sih di sini lebih murah. Sama mau nemuin dia ini, nggak mau kalo nggak ketemu dulu sebelum gue berangkat.”

Ada beberapa hal yang perlu Bila perjelas dalam situasi ini. 

Satu, dia baru sadar kalau Sooil tidak sendirian. Di sebelahnya berdiri sesosok perempuan cantik berhidung bangir dan berambut panjang yang terlihat begitu halus bahkan di bawah lampu superfisial yang menerangi supermarket itu.

Dua, entahlah apakah dia harus merasa lega atau tidak karena tidak merasakan perasaan tertentu melihat bagaimana Sooil mendekap bahu perempuan di sampingnya itu.

Jadi Bila lantas tersenyum lagi. “Oh, oke. Ya udah kalo gitu, have fun ya, belanjanya!” katanya sambil melambaikan tangan sebelum segera melenggang pergi. Ia kalah suwit jadi harus belanja untuk makan malam mereka berlima — ia dan beberapa rekan kantornya, termasuk Chan, sedang staycation di kota ini sebelum mereka harus kembali dikejar-kejar target hari Senin nanti. Jadi Bila ingin cepat-cepat menyelesaikan belanjanya agar bisa segera rebahan lagi di hotel.

Tapi sepertinya mantan pacarnya itu punya persepsi dan rencana yang lain.

Karena alih-alih ditinggalkan sendirian, atau menghindari, seperti mantan pada umumnya, Sooil justru menyusulnya. Perempuan yang dari tadi berdiri di sampingnya masih ada di dalam rangkulan. “Belanja apa sih emangnya?” tanya Sooil, melongok ke keranjang yang baru berisi satu botol yoghurt yang Bila sambar di rak depan karena cuma tinggal satu-satunya. “Kok sendirian aja? Sendirian aja di Bandung?”

Dear God. Sejak kapan sih Sooil jadi banyak tanya seperti ini? Bila hampir saja menduga kalau si perempuan di samping Sooil itu yang andil dalam perubahan pemuda itu. Tapi sekali lihat ke wajahnya yang juga kaget dan bertanya-tanya membuat Bila paham kalau dengan dia pun Sooil tidak terlalu banyak bicara.

Kali ini Bila mulai memaksakan senyum untuk terpasang di sudut bibirnya. “Cuma mau belanja makanan aja kok. Belanja kamu bakal banyak, ‘kan? Silakan, silakan, jangan sampai aku ganggu belanjanya,” ujarnya, berusaha mengusir secara halus.

Tapi senyum di wajah Sooil justru melebar, dan ada sedikit … kemenangan terpancar di ekspresinya? 

Bila bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi.

 

*

 

Sooil sebenarnya masih lelah pagi ini. Baru saja sampai Bandung dan dia sudah diseret untuk belanja, padahal dia sudah bilang berkali-kali tidak akan banyak yang ia butuhkan untuk dibawa dari sini. Karena justru akan membuat kopernya terlalu penuh barang-barang yang sebenarnya bisa dibeli di sana saja besok.

Tapi memang yang namanya tenaga seorang perempuan kalau sudah punya tekad tidak bisa terkalahkan, karena itulah akhirnya ia menyeret kakinya dan menurut.

Ternyata mungkin ia perlu berterima kasih karena sudah diseret ke sini. Siapa sangka? Dari semua orang yang bisa ia temui di Bandung, ada Bila di depan matanya, tanpa ragu mengambil botol yoghurt rasa kesukaannya dan menaruhnya ke keranjang. 

Jangan tanya Sooil bagaimana dia tidak menyapa seperti orang normal melainkan justru menabrakkan pelan trolinya ke keranjang yang dipegang Bila. Tidak dipedulikannya tatapan aneh Jia, perempuan yang tadi menyeretnya ke sini, ke arahnya.

Ketika Bila menoleh ke arahnya Sooil cuma bisa bertanya-tanya bagaimana bisa seseorang sama sekali tidak berubah sekaligus berubah terlalu banyak sekaligus. Bila yang ini masih sama dengan Bila yang pertama kali dikenalnya satu dekade lalu. Caranya menoleh dengan cepat ketika sedang terkejut (mungkin karena ini ia sengaja mengagetkan Bila, Sooil baru sadar), caranya merenung beberapa menit di depan rak supermarket setiap kali ia sedang memikirkan varian apa untuk dipilih, caranya berdiri, caranya berpakaian, segalanya.

Tapi ketika Bila telah menoleh dan mengenalinya, di sana lah segalanya terasa berbeda. Sepasang mata itu yang dulu menemani hari-harinya, bersabar menghadapi segala jenis keluhan serta masalah yang dulu serasa terlalu berat untuk pundaknya. Tapi kini kedua manik itu cuma mengerjap lalu sudah. Tidak ada lagi emosi yang dulu sering ia lihat di baliknya. Bahkan ketika ia merangkul Jia yang tidak banyak bicara tidak seperti biasa, Bila tidak memberikan respon apa-apa selain anggukan sopan.

Karena itulah ketika Bila berlalu, dia secara instingtif mengejar, dengan janji singkat untuk bercerita pada Jia nanti ketika gadis itu menarik lengan dan bertanya itu siapa.

Sebersit harapan muncul di hatinya ketika Sooil menyadari dua hal: Bila yang secara implisit mengatakan kalau keberadaannya mengganggu belanjanya dengan Jia, dan Bila yang masih menggunakan aku-kamu seperti dulu ketika mereka masih pacaran.

Sooil juga tidak tahu ia merasa menang karena apa, karena toh mereka sudah berpisah, dan sepertinya juga akan sulit kalau bukan tidak mungkin bagi mereka untuk kembali bersama. Lagipula dia sudah bersama Jia, yang meskipun memang belum berstatus apa-apa tapi dia seseorang yang saat ini ada dalam hidupnya.

Tapi mungkin, Sooil merasa bangga karena dia belum sepenuhnya lenyap dari benak Bila.

 

*

 

Bila masih bertanya-tanya dalam diam kenapa setelah diusir (walaupun memang dengan halus) Sooil justru seperti bertekad untuk mengekorinya kemana-mana. Bagaimana gadis di sebelah Sooil terlihat kebingungan dan tidak berkata apa-apa juga membuat Bila menjadi semakin tidak nyaman.

Tapi Bila menolak untuk merasa bersalah ketika dia dengan cepat menyelesaikan belanjanya, berulang kali mengulang daftar barang di otaknya agar ia tidak perlu banyak berpikir di depan rak. 

Dia juga menanggapi seperlunya ajakan Sooil untuk berbincang-bincang, sekedar mengangguk, menggeleng atau menjawab singkat pertanyaan yang dilemparkan kepadanya. Bila pura-pura tidak melihat bagaimana raut menang yang tadi terpasang di wajah Sooil perlahan-lahan luntur dan digantikan hampa. Bila tidak tahu apa yang Sooil inginkan, tapi dia juga tidak akan pura-pura menunjukkan nostalgia atau rindu yang sama sekali tidak ia rasakan.

Akhirnya, apa yang ia butuhkan semuanya sudah masuk ke keranjang. Tapi ketika ia hendak melangkah menuju kasir, lengannya ditarik Sooil pelan. 

“Di Bandung lama nggak? Kalo ada waktu makan di luar yuk?”

Bila memasang senyum yang semakin terpaksa. Apa-apaan? Ia menatap perempuan di samping Sooil sejenak, tiba-tiba dihinggapi merasa bersalah dia sudah diseret ke sana kemari tanpa perasaan seperti ini.

Senyum Bila melembut, kemudian ia mengangguk bersalah kepada perempuan itu. “Nggak bisa. Schedule gue packed sampai balik ke Bekasi lagi.”

Lalu senyum terakhir Sooil runtuh dari wajahnya.

Bila baru sadar kalau tadi dia kelepasan menggunakan aku-kamu seperti dulu saat mereka bersama. Dan kalimatnya barusan seperti mengingatkan Sooil kalau mereka sudah lagi bukan apa-apa.

Bila mengangguk sekali lagi, lalu melanjutkan langkahnya menuju kasir. Ia memantapkan hati untuk tidak terlalu merasa bersalah. Bagaimanapun bukan dia yang bertingkah seenaknya kepada teman belanjanya. Bukan urusannya bagaimana Sooil akan menjelaskan apa yang saja baru saja terjadi kepada temannya.

Dalam hati Bila tersenyum kecil. Mungkin Umik akan bangga padanya karena berani lebih memikirkan diri sendiri. Sejak putus dari Sooil berkali-kali Umik bercerita tentang bagaimana ia menyesali banyak hal dalam hidupnya karena terlalu banyak merasa tidak enak kepada orang lain.

Sembari menunggu belanjaannya selesai dihitung Bila meraih ponsel di tas kecilnya, memencet beberapa tombol dan menunggu sejenak.

“Chan? Bantuin aku bawa belanjaan mau nggak?”

Hotel mereka memang tidak jauh dari sini, karena itulah tidak butuh waktu lama untuk Chan muncul dari balik pintu kaca supermarket dan tersenyum lebar ke arahnya. Tangannya dengan sigap mengambil beberapa kantong barang yang sudah dihitung harganya. 

Bila bisa merasakan tatapan tajam di belakang kepala mereka berdua ketika berjalan keluar dari supermarket, tapi dia tidak menggubris sama sekali.

Biarlah. 

Move on bukanlah suatu kesalahan.